Oleh Anton Adianto
Jalan tol merupakan jalan umum yang memberlakukan kewajiban membayar bagi penggunanya dan menjadi jalan alternatif bagi jalan umum dan jalan lintas yang sudah ada. Mengapa harus membayar? Partisipasi pengguna jalan ini dapat meringankan beban dana pemerintah dalam pemeliharaan dan pengembangan jalan tol, selain juga dalam hal pengembalian investasi. Bagi pengguna jalan, mereka dapat memperoleh keuntungan berupa penghematan waktu dan biaya operasional kendaraan dibandingkan jika menggunakan jalan non-tol.
SEJARAH JALAN UTAMA DI TANAH AIR
Pada era pemerintahan Sukarno (Orde Lama), tercatat banyak ruas jalan berhasil dibangun meski masih terfokus di Jakarta selaku ibu kota negara. Ruas jalan utama yang menonjol misalnya pembangunan jaringan jalan baru selebar 40 meter di tahun 1955 yang menghubungkan Kebayoran Baru dengan Kota Jakarta (kini dikenal dengan Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. MH Thamrin) dan pembangunan Jakarta Bypass di tahun 1960-an yang melintasi Cililitan hingga Tanjung Priok.
Pada tahun 1978, di era pemerintahan Suharto (Orde Baru), konsep jalan tol mulai diterapkan di Indonesia, tepatnya pada Jalan Tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta, Bogor, dan Ciawi. Secara total di era orde baru ini selama periode 1968 hingga Mei 1998, pemerintah berhasil mengoperasikan 490 km jalan tol.
Pada era pemerintahan BJ Habibie yang tergolong singkat (Mei 1998 – Oktober 1999), hanya terbangun 7,2 km jalan tol baru. Selanjutnya di masa pemerintahan Gus Dur yang juga tergolong singkat, hanya terbangun 5,5 km jalan tol baru. Pada era pemerintahan Megawati Soekarno Putri, pembangunan jalan tol bertambah sepanjang 34 km. Selanjutnya meningkat pada era Susilo Bambang Yudhoyono dengan berhasil membangun 212 km jalan tol.
Pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur merupakan ambisi besar presiden sehingga tidak heran di masa pemerintahannya sejauh ini telah dibangun lebih dari 3.000 km jalan tol. Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi melakukan percepatan pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk menghubungkan wilayah-wilayah terpencil di Indonesia, salah satu contohnya adalah pembangunan jalan Trans-Papua.
Baca Juga: Dukung Pariwisata dan Perekonomian, Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Bandara di Indonesia?
JALAN TOL DI INDONESIA
Tahun 1978 merupakan awal dioperasikannya jalan tol di Indonesia, tepatnya jalan tol Jagorawi dengan panjang 59 km (termasuk jalan aksesnya). Pembangunan jalan tol yang menghubungkan Jakarta, Bogor, dan Ciawi ini dimulai tahun 1975 dengan dana dari anggaran pemerintah dan pinjaman luar negeri yang diserahkan kepada PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebagai penyertaan modal. Kemudian dengan tanah yang dibiayai pemerintah, PT Jasa Marga ditugaskan untuk membangun jalan tol.
Swasta sendiri mulai berpartisipasi dalam investasi jalan tol mulai tahun 1987 dan berperan sebagai operator melalui penandatanganan Perjanjian Kuasa Pengusahaan (PKP) dengan PT Jasa Marga.
Upaya percepatan pembangunan jalan tol dilakukan di periode 1995-1997 melalui tender 19 ruas jalan tol dengan panjang 762 km. Namun, krisis moneter pada Juli 1997 memaksa pemerintah untuk menunda program pembangunan jalan tol dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39/1997. Akibatnya, terjadi stagnansi dalam pembangunan jalan tol di Indonesia sehingga selama periode 1997-2001 hanya terbangun 13,30 km jalan tol, meski pemerintah saat itu mengeluarkan Keputusan Presiden No. 7/1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam penyediaan infrastruktur.
Pada tahun 2002, pemerintah melakukan evaluasi dan penerusan pengusahaan proyek-proyek jalan tol yang tertunda dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 15/2002 tentang penerusan proyek-proyek infrastruktur. Tercatat selama periode 2001 hingga 2004 dibangun 4 ruas jalan dengan total panjang 41,80 km. Mulai tahun 2005 program percepatan pembangunan jalan tol kembali dilakukan dan 19 proyek jalan tol, yang pembangunannya sempat tertunda di tahun 1997, kembali diteruskan.
PEMBANGUNAN DAN PERKEMBANGAN JALAN TOL
Pada 29 Juni 2005, dibentuklah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sebagai regulator jalan tol di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan yang mengamanatkan pembentukan BPJT sebagai pengganti peran regulator yang selama ini dipegang oleh PT Jasa Marga. Selanjutnya, pendanaan pembangunan jalan tol dilakukan pemerintah dengan menerapkan 3 pendekatan, yaitu: pembiayaan penuh oleh swasta, program kerja sama swasta-publik (Public Private Partnership/PPP), dan pembiayaan pembangunan oleh pemerintah dengan operasional dan pemeliharaan oleh swasta.
Pembangunan jalan tol tidak hanya bertujuan untuk memperlancar lalu lintas atau konektivitas antar wilayah, tetapi juga untuk meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa, serta meningkatkan pemerataan hasil pembangunan yang berkeadilan. Dengan tersedianya konektivitas antar daerah yang lebih baik, maka diharapkan akan mendorong masuknya investasi dan penciptaan lapangan kerja, yang pada akhirnya dapat menunjang pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu wilayah.
Berdasarkan capaian hingga akhir tahun 2020, Kementerian PUPR telah melaksanakan sasaran kinerja pengembangan jalan tol di Indonesia yang mencakup panjang jalan tol saat ini telah mencapai 2.346 km. Panjang lajur tol telah mencapai 10.649 Km, di mana jumlah transaksi harian sebanyak 3,4 juta transaksi. – Construction+ Online
Disclaimer: Construction+ makes reasonable efforts to present accurate and reliable information on this website, but the information is not intended to provide specific advice about individual legal, business, or other matters, and it is not a substitute for readers’ independent research and evaluation of any issue. If specific legal or other expert advice is required or desired, the services of an appropriate, competent professional should be sought. Construction+ makes no representations of any kind and disclaims all expressed, implied, statutory or other warranties of any kind, including, without limitation, any warranties of accuracy and timeliness of the measures and regulations; and the completeness of the projects mentioned in the articles. All measures, regulations and projects are accurate as of the date of publication; for further information, please refer to the sources cited.
Hyperlinks are not endorsements: Construction+ is in the business of promoting the interests of its readers as a whole and does not promote or endorse references to specific products, services or third-party content providers; nor are such links or references any indication that Construction+ has received specific authorisation to provide these links or references. Rather, the links on this website to other sites are provided solely to acknowledge them as content sources and as a convenient resource to readers of Construction+.