Oleh Anton Adianto
Tak bisa kita pungkiri bahwa kondisi suatu bandar udara (bandara) merefleksikan wajah negara di mana bandara tersebut berada. Maka tak heran sepulang dari kunjungan ke Amerika Serikat, Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan keinginannya kepada Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum saat itu agar bandara di Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bandara di negara maju.
Bicara tentang sejarah bandara di Indonesia, tidak bisa lepas dari peran PT Angkasa Pura. Pada 15 November 1962, Pemerintah RI mengeluarkan PP No. 33 Tahun 1962 tentang Pendirian Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran, yang pada masa itu merupakan satu-satunya bandara internasional untuk melayani penerbangan domestik dan internasional.
Kemudian pada 20 Februari 1964, PN Angkasa Pura Kemayoran resmi mengambil alih secara penuh aset dan operasional Bandara Internasional Kemayoran Jakarta dari Kementerian Perhubungan Udara, setelah melalui masa transisi selama 2 tahun. PN Angkasa Pura Kemayoran selanjutnya berubah nama pada 17 Mei 1965 menjadi PN Angkasa Pura berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan PP No. 33 Tahun 1962.
Pada 24 Oktober 1974, status badan hukum perusahaan diubah dari PN Angkasa Pura menjadi Perusahaan Umum (Perum) Angkasa Pura I. Selanjutnya pada 19 Mei 1986, wilayah pengelolaan bandar komersial di Indonesia dibagi 2 sejalan dengan perubahan Perum Angkasa Pura menjadi Perum Angkasa Pura I, diikuti dengan dibentuknya Perum Angkasa Pura II. Bandara di wilayah timur Indonesia dikelola oleh Perum Angkasa Pura I dan bandara di wilayah barat Indonesia dikelola oleh Perum Angkasa Pura II.
Status badan hukum Perum Angkasa Pura I diubah pada 4 Februari 1992 menjadi Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan PP No. 5 tahun 1992. Mellaui perubahan tersebut namanya menjadi PT Angkasa Pura I (Persero), di mana sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh negara.
Baca Juga: Pembangunan Jalan Tol di Indonesia dari Masa ke Masa
KEMAYORAN, BANDARA INTERNASIONAL PERTAMA DI INDONESIA
Pemerintah kolonial Belanda mulai membangun landasan Bandara Kemayoran tahun 1934 dan meresmikannya sebagai bandara internasional pada 8 Juli 1940. Saat itu, Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM) dipercaya sebagai pengelolaannya. Pesawat pertama yang mendarat di bandara ini adalah DC-3 milik KNILM yang terbang dari Bandara Tjililitan (kini Halim Perdana Kusuma), dua hari sebelum peresmian.
Pada 31 Agustus 1940, Bandara Kemayoran menggelar air show pertama yang diramaikan tidak hanya oleh pesawat-pesawat milik KNILM, tetapi juga pesawat-pesawat pribadi dari Aeroclub di Batavia. Bandara Kemayoran sempat mendapat serangan dari pesawat-pesawat terbang Jepang saat perang Asia-Pasifik, tepatnya pada 9 Februari 1942. Saat itu, sebanyak 2 buah pesawat DC-5, 2 buah Brewster, dan 1 buah F-VII terkena serangan. Hal ini memaksa beberapa pesawat KNILM diungsikan ke Australia.
Dengan lahirnya Garuda Indonesia Airways setelah era kemerdekaan, pesawat-pesawat modern mulai hadir di Kemayoran. Tahun 1950-an menandai era penerbangan sipil modern dengan beroperasinya pesawat bermesin jet. Bandara Kemayoran juga dimanfaatkan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI/kini TNI AU).
Era pesawat jet berbadan lebar dan berteknologi canggih mulai marak di Kemayoran pada tahun 1970-an, seperti B-747, L-1011, DC-10, dan Airbus. Pada era 1970-an pula, tepatnya 10 Januari 1974, Halim Perdanakusuma dibuka sebagai bandara internasional karena kesibukan Bandara Kemayoran yang semakin meningkat. Untuk penerbangan domestik, seluruhnya masih berlokasi di Kemayoran.
Bandara Kemayoran terakhir beroperasi pada 31 Maret 1985, ditandai dengan pesawat DC-3 Dakota yang menjadi pesawat terakhir yang meninggalkan bandara tersebut sebelum ditutup dan pindah ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Meski sudah tidak ada aktivitas penerbangan, Bandara Kemayoran sempat digunakan sebagai arena Pameran Kedirgantaraan Indonesia (Indonesia Air Show/IAS) tahun 1986.
Setelah resmi ditutup, Bandara Kemayoran beralih fungsi menjadi kawasan komersial, seperti hotel, pusat perbelanjaan, kompleks Pekan Raya Jakarta, dan fungsi-fungsi lainnya, termasuk saat memasuki pandemi COVID-19, pertengahan tahun 2020.
BANDARA INTERNASIONAL DI INDONESIA
Hingga kini, Indonesia memiliki 30 bandara internasional yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, yaitu:
- Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten
- Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur
- Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat
- Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah
- Bandara Internasional Yogyakarta, Kulon Progro, Yogyakarta
- Bandara Adi Sumarmo, Boyolali, Jawa Tengah
- Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur
- Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Aceh
- Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara
- Bandara Suwondo, Medan, Sumatera Utara
- Bandara Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara
- Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau
- Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau
- Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau
- Bandara Minangkabau, Padang Pariaman, Sumatera Barat
- Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sumatera Selatan
- Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali
- Bandara Lombok, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
- Bandara Selaparang, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat
- Bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur
- Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara
- Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan
- Bandara Supadio, Kubu Raya, Kalimantan Barat
- Bandara Juwata, Tarakan, Kalimantan Utara
- Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur
- Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
- Bandara Pattimura, Ambon, Maluku
- Bandara Frans Kaisiepo, Biak Numfor, Papua
- Bandara Mopah, Merauke, Papua
- Bandara Sentani, Jayapura, Papua
– Construction+ Online
Disclaimer: Construction+ makes reasonable efforts to present accurate and reliable information on this website, but the information is not intended to provide specific advice about individual legal, business, or other matters, and it is not a substitute for readers’ independent research and evaluation of any issue. If specific legal or other expert advice is required or desired, the services of an appropriate, competent professional should be sought. Construction+ makes no representations of any kind and disclaims all expressed, implied, statutory or other warranties of any kind, including, without limitation, any warranties of accuracy and timeliness of the measures and regulations; and the completeness of the projects mentioned in the articles. All measures, regulations and projects are accurate as of the date of publication; for further information, please refer to the sources cited.
Hyperlinks are not endorsements: Construction+ is in the business of promoting the interests of its readers as a whole and does not promote or endorse references to specific products, services or third-party content providers; nor are such links or references any indication that Construction+ has received specific authorisation to provide these links or references. Rather, the links on this website to other sites are provided solely to acknowledge them as content sources and as a convenient resource to readers of Construction+.