Membawa tiga fungsi yang bersinggungan dengan dunia seni ke dalam bangunan utama, The Equalizer menerapkan filosofi desain yang bermetafora dari sebuah irama dalam rangkaian aktivitas di kehidupan manusia. Irama ini menjadi kata kunci dalam perancangan bangunan yang difungsikan sebagai rumah produksi, studio musik dan studio balet. Delution Architect selaku konsultan arsitekturnya mencoba untuk menemukan benang merah dari ketiga fungsi tersebut yang akhirnya mengerucut pada kata irama, yang kemudian diimplementasikan ke dalam pembentukan massanya.
METAFORA IRAMA
Dari konsep dasar tersebut, Delution membagi massa bangunannya menjadi dua bagian. Massa pertama memiliki proporsi tinggi ke atas, sementara massa lainnya memiliki proporsi maju ke depan. Hal ini merupakan simbolisasi dari gerakan tangan seorang dirigen dalam mengatur irama. Sementara itu, jarak antara massa digunakan sebagai akses yang difungsikan menjadi koridor berbentuk T yang kemudian menciptakan efek triple cross ventilation, di mana udara dan sinar matahari dapat melintas melalui tiga jalur yang saling menyilang tersebut.
Demi mengoptimalkan ventilasi silang untuk memberikan pengudaraan alami, setiap lantai diberikan area komunal terbuka sebagai greenery area, selain berfungsi sebagai ruang interaksi dengan tamu yang datang. Pada lantai pertama terdapat kafetaria kecil yang dilengkapi dengan kolam sebagai air cooler menuju koridor utama bangunan. Area parkir dan tembok pembatasnya dibuat khusus dengan elemen-elemen penghijauan sehingga menciptakan iklim mikro di dalam bangunan menjadi lebih sejuk.
ARSITEKTUR HIJAU
Arsitektur hijau benar-benar diterapkan dalam bangunan komersial dan kantor yang berlokasi di Jatiwaringin, Jakarta ini. Tidak hanya memperhatikan efek ventilasi silang dan penghijauan, tetapi 85% area di lantai pertama pada bangunan ini didesain sebagai resapan tanah melalui implementasi pada carport yang beralaskan rumput dan grass block pada area servis. Hal ini membuat daya serap permukaan tanah terhadap air hujan menjadi sangat baik.
Massanya yang berbentuk kotak disesuaikan dengan jarak struktur yang tipikal sehingga tercipta efisiensi dari sisi biaya konstruksi. Konsep glassless atau minim kaca pada bangunan ini hadir, karena tuntutan terhadap kegiatan utama studio produksi film dan musik yang memang memerlukan kondisi ruang kedap cahaya dan suara. Fasadenya memanfaatkan sebuah kaca kecil memanjang yang tidak hanya berfungsi sebagai soundproof optimizer, tetapi juga sebagai penahan sinar matahari barat yang datang dari depan bangunan.
Dari sisi material dan elemen dalam bangunan, konsep metafora dari irama dan equalizer itu diperkuat melalui pemilihan batu tempel yang disorot oleh lampu sebagai elemen penegasnya. Bentuk lampu pada plafon, dekorasi dinding, beberapa handle, signage tiap ruang, dan plafon pada ruang balet juga konsisten dalam mengikuti konsep dasar tersebut. The Equalizer secara brilian mampu menerjemahkan filosofi irama dalam kehidupan ke dalam penjabaran Green architecture yang efisien.
DATA PROYEK
Nama proyek: The Equalizer
Lokasi: Jatiwaringin, Jakarta
Selesai: 2015
Area pembangunan: 365 meter persegi
Luas area bangunan: 585 meter persegi
Klien/pemilik: Poedji Churniawan
Firma arsitek: Delution Architect
Arsitek utama: Muhammad Egha, ST, Hezby Ryandi, ST, Sunjaya Askaria, ST & Fahmy Desrizal, ST
Arsitek proyek: Indira Pramundita, S.Ars & Dyah Indraswari, ST
Kontraktor utama: CRI
Insinyur sipil & struktur: RAF and Partners
Foto/gambar: Fernando Gomulya