Indonesia sedang mengalami transformasi struktural besar dan cepat menuju ekonomi perkotaan, sehingga kota-kota di Indonesia tumbuh lebih cepat daripada banyak kota di Asia lainnya.
Peningkatan populasi perkotaan yang besar, ditambah dengan kurangnya pilihan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah telah menyebabkan kepadatan berlebih dan pertumbuhan permukiman kumuh yang ditandai dengan perumahan di bawah standar, akses yang tidak memadai ke layanan dasar, kesehatan yang buruk dan kerentanan terhadap risiko bencana.
Dengan semakin banyaknya orang yang pindah dan bekerja di daerah perkotaan, sangat penting untuk mendukung urbanisasi yang inklusif dan terencana dengan baik serta meningkatkan pasokan perumahan yang layak di lingkungan yang terlayani dengan baik dan terhubung untuk meningkatkan standar hidup.
LATAR BELAKANG
Terdapat sekitar 64,1 juta unit rumah di Indonesia, di mana sekitar 20 persen berada dalam kondisi buruk. Sementara itu, sekitar 820.000 hingga 1 juta unit baru dibutuhkan setiap tahun untuk memenuhi permintaan perumahan tahunan mulai dari pertumbuhan penduduk, pembentukan permukiman baru, dan urbanisasi.
Berdasarkan data Survei Rumah Tangga Nasional 2015 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperkirakan backlog perumahan sebanyak 11,4 juta unit. Dengan menggunakan definisi alternatif ‘kepadatan berlebih’, jumlah unit di bawah standar diperkirakan 7,5 juta pada tahun 2013. Penghitungan lebih lanjut dari rumah di bawah standar memperkirakan bahwa 45 persen dari semua unit di bawah standar menurut beberapa ukuran, yaitu kepadatan berlebih, dibangun dari setidaknya satu bahan berkualitas buruk, atau kurangnya akses ke layanan dasar.
Data yang tersedia menunjukkan bahwa perumahan informal yang dibangun sendiri terus menghasilkan sebagian besar perumahan di Indonesia, dengan survei baru-baru ini memperkirakan bahwa 71 persen dari persediaan perumahan di Indonesia kabupaten ini dibangun sendiri.
Mengandalkan secara eksklusif pada konstruksi yang dibangun sendiri dan bertahap memiliki keterbatasan yang parah dalam kaitannya dengan penyediaan layanan dan infrastruktur yang sistematis dalam konteks urbanisasi yang cepat. Sistem produksi perumahan di Indonesia menunjukkan tanda-tanda stres yang parah yang dibuktikan dengan defisit perumahan yang terus meningkat, indikator layanan perkotaan yang buruk, dan menjamurnya permukiman kumuh.
Baca juga: Perspektif lain dari sektor urban development di Indonesia
MENINGKATKAN AKSES KE PERUMAHAN TERJANGKAU MELALUI NAHP
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan serangkaian kebijakan dan lembaga yang luas untuk mendukung perumahan terjangkau, namun belum efektif dalam meningkatkan hasil perumahan pada skala yang diperlukan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan bekerja sama dengan Bank Dunia dalam National Affordable Housing Program (NAHP) untuk mendorong pemenuhan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam Program NAHP, Bank Dunia menyalurkan dana sebesar 450 juta USD untuk mendukung pelaksanaan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan bantuan teknis.
“Penyediaan hunian layak bagi MBR telah diakselerasi melalui Program Sejuta Rumah (PSR), antara lain dengan pemberian Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), serta dukungan pembiayaan untuk perolehan rumah umum,” ujar Direktur Perencanaan Penyediaan Perumahan Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Dwityo Akoro Soeranto.
Housing And Settlements In Indonesia: Planning, Policies And Future Priorities
Bank Dunia saat ini sangat peduli terhadap isu kualitas rumah MBR karena Project Development Objective (PDO) dalam National Affordable Housing Program (NAHP) sekarang akan diarahkan pada peningkatan akses MBR terhadap rumah layak terjangkau berkualitas. Kualitas rumah yang dimaksud adalah kualitas konstruksi rumah yang aman dari ancaman gempa. Koordinator Program Perkotaan Indonesia dari Bank Dunia, Marcus Lee menengarai bahwa kualitas konstruksi rumah yang rendah justru akan membuat MBR menjadi lebih rentan dan semakin miskin ketika terjadi kejadian bencana.
Baca juga: Perspektif desain dan planning permukiman masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia
Melalui Lokakarya Kualitas Konstruksi Rumah yang mengangkat tema “Mewujudkan Rumah Yang Aman, Sehat dan Berkualitas Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah” yang diselenggarakan oleh Kementerian PUPR melalui Ditjen Penyediaan Perumahan bekerja sama dengan Bank Dunia dalam program NAHP; Bank Dunia yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia memastikan dan mendukung peningkatan kualitas rumah bagi MBR dalam program BSPS maupun rumah bersubsidi KPR.
Lokakarya ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk mengidentifikasi solusi alternatif yang berkelanjutan untuk penyediaan dan peningkatan rumah bagi MBR dan menghasilkan suatu kerangka kerja dan rencana aksi untuk perbaikan kebijakan perumahan di Indonesia di masa mendatang, khususnya dalam upaya mewujudkan peningkatan kualitas konstruksi rumah bagi MBR yang lebih aman, sehat, dan terjangkau. — Construction+ Online