Seperti banyak diketahui, 2019 menjadi tahun di mana beberapa ritel ternama terpaksa menutup toko mereka. Dikutip dari pernyataan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), sejumlah ritel diprediksi masih akan melakukan sejumlah penyesuaian model bisnis hingga tahun depan. Penutupan toko atau relokasi tersebut dilakukan karena terjadi efisiensi usaha yang masih akan berlanjut.
Hal itu disampaikan oleh Roy Mandey selaku Ketua Umum Aprindo di Jakarta, beberapa waktu lalu. Ia menuturkan bahwa anomali bisnis masih terjadi di sektor tersebut sehingga hampir semua perusahaan ritel, terutama anggota Aprindo, tengah melakukan daur ulang bisnis mereka agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Akibatnya, pertumbuhan bisnis ritel pun mengalami perlambatan menjadi hanya sekitar 5,07 persen tahun ini, jauh di bawah level yang seharusnya bisa mencapai 12-14 persen.
Menurut analisa Aprindo, pertumbuhan bisnis ritel yang rendah itu berasal dari perlambatan konsumsi, bukan daya beli. Roy menambahkan bahwa masyarakat masih memiliki daya beli tinggi, terlebih jika dilihat dari masih ramainya pusat perbelanjaan atau kuliner. “Masyarakat masih punya uang, membelanjakan uang masih kuat, tapi mereka memindahkan uang yang tadinya untuk berbelanja ke kuliner, gaya hidup atau leisure,” tambahnya.
Di tahun 2020, fenomena penutupan ritel ini masih berpotensi terjadi. Dengan persaingan yang juga ketat, Aprindo melihat kemungkinan ini, salah satunya akibat persaingan antar ritel besar. Selain itu, pola belanja di tingkat konsumen juga memengaruhi hal tersebut mengingat masyarakat lebih membeli barang sesuai kebutuhan pada hari ini dan memutuskan berbelanja di tempat terdekat ketimbang pergi jauh menuju ritel modern. Kepraktisan juga menjadi pertimbangan, di mana masyarakat saat ini lebih menyukai proses belanja yang simpel dan tidak merepotkan, di mana proses antri dan cari parkir bisa diabaikan. — Construction+ Online