Pro Talk Series kembali diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sebagai bagian dari rentetan seri yang sudah dimulai akhir Januari 2022 lalu. Diskusi webinar Pro Talk Series #02 mengangkat tema paradigma kota dan arsitektur di masa depan, dalam konteks desain arsitektur sebagai artefak peradaban, khususnya istana negara.
Acara diisi oleh pembicara Arsitek M. Ridwan Kamil, IAI selaku Arsitek dan Perancang Kota, Johannes Widodo selaku Associate Professor di National University of Singapore (NUS), Singapura, dan Arsitek Yandi Andri Yatmo, IAI selaku Guru Besar Arsitektur Universitas Indonesia (UI). Acara yang dimoderatori oleh Arsitek Imelda Akmal, IAI. Acara ini berlangsung secara daring, Rabu 9 Februari 2022.
Dalam paparannya, Ridwan Kamil menyatakan bahwa desain arsitektur atau kota lebih kompleksnya adalah bentuk ekspresi diri dan budaya. Dalam upaya membangun masa depan, ibu kota negara (IKN) yang merupakan artefak arsitektur dan kota harus memiliki identitas sebagai wujud peradaban bangsa tersebut, termasuk kearifan lokal yang dimiliki.
“IKN dan Istana Negara pada dasarnya merupakan simbol politik sebuah negara, sebagai “wajah utama” sebuah negara yang dihadirkan melalui ekspresi arsitektur kota tersebut. Sejarah ibu kota negara Republik Indonesia sendiri selama ini sebatas menjadikan kota yang telah ada sebagai ibu kota dengan menambahkan fungsi pusat pemerintahan. Belum pernah sebelumnya ibu kota didesain secara terintegrasi dari nol,” jelasnya.
Perencanaan arsitektur dan kota yang baik tentunya harus memperhatikan prinsip-prinsip kelayakan huni maupun skala kota yang secukupnya. Kota yang baik harus compact, di mana orang-orang yang tinggal dapat dengan tidak merasa terpaksa untuk bepergian dengan berjalan kaki. “Di kota yang baik, kita dapat menikmati arsitekturnya dengan berjalan kaki, tanpa harus bergantung pada kendaraan,” ujar Ridwan.
Diharapkannya bahwa ibu kota Indonesia hendaknya tidak menjadi sekadar kumpulan arsitektur yang bagus secara estetika, namun tidak membentuk sebuah peradaban kota. Peradaban kota itu sendiri utamanya terkait tiga hal, yaitu Design, Density (Kepadatan) dan Diversity (Keragaman). Kota yang desainnya baik harus memiliki fungsi campuran tidak hanya satu fungsi, misalnya hanya fungsi perkantoran pemerintahan saja.
Sementara itu, Johannes Widodo menjelaskan beberapa catatan prinsip perencanaan ibu kota ditilik dari aspek sejarah berdasarkan kajian naratif, morfologi, dan pola pikir dalam desain arsitektur. Rancangan ibu kota yang umumnya memiliki bahasa-bahasa arsitektur akan kekuasaan atau kontrol, umumnya tercermin dalam penataan pola-pola aksis jalan yang simetris, pembagian hierarki ruang, monumentalitas bangunan yang ikonik, dan lain sebagainya.
Perancangan kota yang berkelanjutan (sustainable) harus memperhatikan 17 hal, seperti yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG) 2030 untuk Indonesia versi UNDP 2020, di mana dalam susunannya Johannes melihat bahwa biosphere (lingkungan alam) menempati prioritas utama dalam pembentukan kota, yang dilanjutkan dengan berbagai aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan di prioritas kedua, sebelum akhirnya menyentuh aspek ekonomi pada prioritas terakhir. “Penataan ibu kota RI yang beradab, secara prinsip perlu menangkap nilai-nilai yang sudah terkandung dalam Pancasila, di mana harus memperhatikan hal-hal terkait pengakuan atas Yang Maha Kuasa, nilai kemanusiaan dan etik, nilai persatuan, nilai demokratis, inklusifitas dan akses secara universal, serta nilai sosial dan keterjangkauan secara ekonomi,” tutupnya.
Terakhir, Yandi Andri Yatmo menjelaskan hal-hal yang perlu menjadi acuan perancangan kota di masa depan. Banyak hal-hal baru terkait teknologi dan perubahan gaya hidup telah menjadi sumber pemrograman arsitektur saat ini yang berbasis data. “Apa yang dahulu menjadi prinsip-prinsip desain kota seperti keteraturan, penataanan obyek visual atau lainnya tidak lagi menjadi sebuah patokan untuk sebuah kota yang ideal,” ujar Yandi.
Terdapat perubahan paradigma-paradigma baru tentang arsitektur dengan pengutamaan pada kesehatan, keselamatan, dan ekologi lingkungan. Sementara itu, pendekatan desain juga berkembang pada desain yang berbasis informasi data dan pemograman baru, yang tidak semata-mata mengandalkan teori-teori desain kota seperti di masa lalu. “Perancangan kota kini dan di masa depan tidak sebatas hanya smart city, kehadiran teknologi media dunia maya menghasilkan informasi jaringan yang telah menjadi data acuan dalam merencanakan koneksi antar fungsi dalam arsitektur kota yang dahulu selalu berlandaskan paham geometri. Kehadiran sebuah obyek arsitektur tidak lagi hanya dapat dipandang sebagai wujud tersendiri, namun lebih jauh bagaimana ia saling berhubungan (konektivitas) dengan obyek lainnya,” jelasnya. — Construction+ Online